Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda yang bernama Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung.
Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau
Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa
selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa
yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting
karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama
Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam
tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan
telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota
Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan
ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang
berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah
berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi,
sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar
dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada
abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di
Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan
dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari
Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di
Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka
Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama
gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut
terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan
tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan
tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak
rakyat Sunda disana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi
Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan pelabuhan
Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota
tersebut menjadi Jayakarta yang berarti “kemenangan”.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah
singgah di Banten pada tahun 1596. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan
Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya
menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang
menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan
kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan
dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat Cina,
dan pesisir Malabar, India. Mereka inilah yang kemudian membentuk
komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi.
Pada tanggal 9
Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000
orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa
yang lari keluar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan
selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke
arah selatan. Tahun 1910, Belanda membangun kota taman Menteng, dan
wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan
Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di utara, Koningspein,
dan Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah kota.
Djakarta (1942–1972)
Penjajahan
oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga
merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan
kedaulatan tahun 1949.
Semenjak dinyatakan sebagai ibukota, penduduk
Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja
kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5
tahun penduduknya berlipat lebih dari dua. Berbagai kantung pemukiman
kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka
Putih, Rawamangun, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak
dilakukan secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik
negara lainnya, seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan
Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora
Bung Karno, Mesjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula
Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat
bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara.
Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta
adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an
di wilayah Jakarta Selatan.
Banjir merupakan masalah berkepanjangan yang terus melanda Jakarta.
Laju
perkembangan penduduk ini pernah dicoba ditekan oleh gubernur Ali
Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai “kota
tertutup” bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan
dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat
ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi
akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan
alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi
kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung
MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut
kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan.